Drama para kleptokrat dalam lipatan utang

Belakangan terungkap, kepemimpinan dua periode Presiden Jokowi meninggalkan utang yang demikian fantastis. Sebelum-sebelumnya kita terhipnotis akan capaian pembangunan infrastruktur yang dikerjakannya.

Visi Jokowi periode pertama Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia” hancur lebur dengan sendirinya di periode kedua kepemimpinannya.

Pada periode kedua, terlihat sekali Jokowi yang diduga lebih pro kepada oligarki, bisa dilihat dari sejumlah kebijakan yang secara “terselubung” dan/atau menyelipkan kepentingan para pemilik modal, menggunakan dalih untuk kepentingan investasi. Alih-alih Jokowi malah mempraktikkan politik “belah bambu.”

Pemerintahan Jokowi hari ini sibuk terus mencitrakan diri “positif” kita ambil contoh soal Elon Musk yang digembar-gemborkan bakal membenamkan investasi di Indonesia, belakangan malah jualan jaringan internet berbasis satelit.

Itupun seolah-olah pemerintah memberikan hak monopoli kepada pemilik Tesla itu, karena ada menterinya yang mengatakan bahwa kita sudah tidak perlu BTS (Base Transceiver Station). Kalangan provider pun teriak-teriak karena terancam tutup dan pastinya ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja) terbuka lebar memicu pengangguran baru. Ditambah lagi proyek pembangunan BTS menjadi bancakan para elite.

Dulu-dulu begitu ngototnya pemerintah Indonesia menawarkan Nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, eh, Amerika Serikat justru menemukan energi baru bernama kecerdasan buatan (artificial intellegence) seperti machine learning, neural network dan algoritma genetik.

Dengan AI, pengelolaan energi terbarukan (EBT) bisa diprediksi, mulai dari permintaannya, pengaturannya, serta pengoptimalan dalam penggunaan.

Di tengah gegap gempitanya AI, kita malah dipertontonkan bagi-bagi tambang buat organisasi kemasyarakatan (ormas), ironisnya jenis tambang itu adalah batu bara yang oleh banyak kalangan menduga sebagai praktik ijon. Ya, kendati soal batu bara ini sempat menjadi pro-kontra dalam KTT Iklim COP26 (sebuah kesepakatan bertujuan mencegah perubahan iklim) digelar di Glasgow, Inggris beberapa waktu lalu. Dimana ada klausul yang secara eksplisit meminta penghapusan batu bara karena dianggap sebagai bahan bakar fosil terburuk penyebab emisi gas rumah kaca. Dalam KTT tersebut akhirnya disepakati menghentikan secara bertahap penggunaan batu bara.  

Sementara ini ormas yang menerima IUP (Izin Usaha Pertambangan) adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menuai pro-kontra di internal. Sejumlah kader-kader NU menilai pengelolaan tambang batu bara oleh PBNU bertentangan dengan keputusan Bahtsul Masail 2017 silam yang meminta kepada pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan.

Saat gelaran Muktamar Jombang 2015 silam, NU juga menyampaikan untuk memoratorium semua izin tambang, ditambah lagi Muktamar Lampung semakin menegaskan agar pemerintah menghentinkan pembangunan PLTU batu bara mulai 2022 dan penghentian produksi mulai 2022, serta phase out PLTU batu bara pada 2040 yang dimaksudkan untuk mengebut transisi energi yang berkeadilan, demokratis, bersih dan murah. Kita juga dipertontonkan bagaimana para elite dan kleptokrat mengkorupsi pengelolaan timah yang mencapai ratusan triliun di PT Timah.

Belum lagi, CEO Apple, Tim Cook yang justru lebih tertarik berinventasi di Vietnam ketimbang di Indonesia. Di Vietnam Apple membenamkan investasi mencapai Rp255 triliun sementara di Indonesia hanya Rp1,6 triliun, sebuah pukulan telak. Bisa jadi para investor IT ini tahu bagaimana “kelakuan korup” para pejabat.

Di balik itu semua ada yang lebih mencengangkan, sejumlah laporan menyebutkan utang kita sudah tembus sekira Rp8.300 triliun lebih, dengan bunga utang Rp500-Rp600 triliun saban tahun. Belum lagi utang BUMN kita, kendati belum ada rilisan angka resmi dari pemerintah, namun catatan pada akhir 2022 total utang BUMN kita tercatat Rp1.640 triliun.

Dengan kondisi itupun, pemerintah masih menilai utang kita masih relatif aman jika dibandingkan dengan rasio yang disepakati dari Product Domestik Bruto (PDB), walaupun rasio utang dengan PDB bisa diubah melalui proses politik di DPR.

Namun, bagi saya, angka Rp8.300 triliun lebih lumayan bikin “jedag-jedug” terlebih melihat dominan penguasa kita masih berparadigma “kleptokrasi,”  jadi nggak perlu bicara soal “political will.”

Kita lihat saja perkembangannya ke depan.

Ilustrasi: (istimewa)

Tinggalkan komentar