Politik China: penetrasi kekuatan digital

By: Sonny Majid

WAJAR beberapa negara Eropa Barat khususnya Amerika Serikat (AS) sudah mulai ketar-ketir atas menggeliatnya China sebagai negara “calon adidaya,” yang menguasasi pangsa pasar bisnis berbasis digital. Kita tahu bagaimana geng “silicon valley” mulai agak keteteran mengejar sepak terjang teknologi.

Kekhawatiran AS sendiri sudah mulai tampak saat China menggagas “Belt and Road Initiative” – (BRI), yang merupakan skema ekspansi bantuan-bantuan untuk membangun infrastruktur ke negara-negara lain. Ini juga yang melahirkan AIIB (Asian Investment and Infrastructure Bank) yang disebut-sebut sebagai penanding World Bank yang selama ini sudah “mencengkram” negara-negara berkembang layaknya “Rajawali” lambang negara AS.

Kepanikan AS kian menjadi-jadi, setelah belakangan China diam-diam bikin “Digital Silk Road” – DSR, yang lagi-lagi sebuah desain ekspansi ekonomi digital. DSR memokuskan pada konektifitas komunikasi, teknologi dan informasi.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, pada 2017 saja, sektor e-commerce China sudah menguasai 42 persen secara global. Raksasa teknologi seperti Alibaba dan Tancent mengalami peningkatan valuasi. Melihat perkembangan yang sedemikian “gila”, pemerintah China memberikan dukungan politik secara penuh. Memang, benar, kemajuan sebuah negara juga sangat dipengaruhi oleh “political will” kekuasaan – penguasa.

Lihat lagi, bagaimana pengembangan 5G, kecerdasan buatan, big data, industri internet, komputasi awan (cloud), bahkan dalam sebuah kesempatan diskusi, saya beserta kawan-kawan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) sudah membahas tentang 6G. Baca: https://sonnymajidblog.wordpress.com/2021/06/04/6g-hilangnya-jack-ma-bocornya-data-penduduk-indonesia/

Bagaimana raksasa teknologi China mendominasi sebagai investor dalam start-up dan e-commerce di kawasan Asian Tenggara. Alibaba misalnya, menggerakan e-commerce berbasis di Singapura yakni Lazada Grup, yang pengguna aktifnya sudah menyisir kawasan Thailand, Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Bahkan ada sumber yang merilis, Tencent dan Didi Chuxing ikut membenamkan modal ke Grab dan Go-Jek yang telah menggeser Uber, di Asia Tenggara. Alipay, milik Jack Ma bahkan sudah lama menggarap pasa pembayaran elektronik di Laos, Filipina, Myanmar, dan Kamboja. Sebelumnya lebih dulu di Malaysia, Singapura, Vietnam dan Thailand.

Beberapa catatan Ant Financial sebagai perusahaan induk Alipay, ikut serta merger dan akuisisi termasuk konsep kemitraan. Di Thailand dengan Ascend Money, sedangkan di Indonesia bersama Emtek. Di Filipina dengan Mynt. Huawei dan ZTE main proyek pemasangan serat optik. Setidaknya Huawei Marine telah kelar mengerjakan pembangunan kabel bawah tanah di laut Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia dan Filipina.

Pada pasar ponsel, sejumlah produk China seperti Huawei, Vivo, Oppo, Xiaomi, mengeroyok untuk mengambil jagoan ponsel Samsung, asal Korea Selatan. Salah satu strateginya adalah memelopori pengembangan jaringan 5G dan komputasi awan di pasar Asia Tenggara.

Geng silicon valley tak mau kalah. Facebook, Google, Twitter terus berjuang, bersaing untuk penetrasi ke Asia Tenggara.

Dengan gambaran itu, semestinya Indonesia sudah tidak lagi “saling sikut” dalam penemuan teknologi. Untuk urusan teknologi vaksin dan pendeteksi virus saja, para ahli “saling sikat.” Saya gak perlu mengurai contoh-contohnya, saya rasa kita semua sudah tahu.

Di lain sisi ancaman revolusi digital di depan mata. Seperti cyber security, kasus virus pengunci file yang sempat menyerang Bank Sentral Malaysia dan Bank Sentral Bangladesh bisa jadi pelajaran buat kita. Belum lagi fragmentasi industri, masih dominannya produk impor dana e-commerce – belum mendukung produk lokal, kerawanan pencucian uang dan perlindungan data pribadi.

Sudah sepatutnya pemerintah mendorong satu regulasi “Kedaulatan Cyber,” untuk menghadapi ancaman-ancaman revolusi digital. Bicara kedaulatan sebuah negara hari ini tidak lagi hanya sebatas wilayah, tapi juga menjaga kedaulatan yang “tanpa batas.”

(Catatan tanpa editing)

Diterbitkan oleh Sonny Majid

Just leave the house if there is an invitation for coffe and discussion.

Tinggalkan komentar